Bagaimana terjadinya perang dipinegoro 1825-1830?

 on Tuesday 18 November 2014  

Perang Diponegoro (1825–1830) \
Banyak hal yang menyakitkan hati para pembesar dan rakyat Pulau Jawa. Seperti, campur tangan orang asing dalam urusan pemerintahan dalam negeri sehingga wilayah kekuasaan Kasultanan Surakarta dan Yogyakarta semakin kecil. Van der Capellen juga mengeluarkan peraturan yang melarang menyewakan tanah kepada orang-orang swasta yang merugikan kaum bangsawan. Kekecewaan itu tampak pula di kalangan kaum ulama. Pengaruh Belanda mengakibatkan munculnya penyakit sosial, seperti minuman keras dan kemerosotan akhlak pada umumnya.

Pada 1817, Sultan Hamengku Buwono III meninggal dunia. Beliau, berwasiat agar posisinya digantikan oleh Pangeran Diponegoro atau Antawirya putra sulung dari selir. Akan tetapi, Pangeran Diponegoro menolak karena Sultan Hamengku Buwono mem punyai anak laki-laki dari prameswari, yaitu Mas Djarot. Beliau juga lebih suka mendiami rumahnya sendiri di Desa Tegalrejo. Pangeran Diponegoro tidak suka melihat cara hidup kaum bangsawan yang telah menjadi kaki tangan Belanda. Beliau tidak tahan melihat penderitaan rakyatnya menjadi kuda beban untuk meme nuhi kebutuhan Belanda dan para bangsawan.

Pada 1825, pemerintah Hindia Belanda hendak membuka jalan baru dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo. Pembukaan jalan tersebut melalui tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro. Tindakan

Belanda yang berbuat sewenang-wenang tanpa izin darinya menimbul kan kemarahan Pangeran Diponegoro. Patok-patok dicabut dan diganti dengan tombak. Belanda menanggapi sikap itu sebagai suatu tan tangan. Tempat tinggal beliau kemudian dibumihanguskan oleh Belanda. Dengan taktik gerilyanya, Pangeran Diponegoro selalu men dapat kemenangan. Beliau dibantu oleh Kyai Madja dan Sentot Alibasa Prawirodirjo. Kyai Madja meng gerakkan semua umat Islam untuk membantu Pangeran Diponegoro mengusir penjajah Belanda. Begitu juga dengan Sentot Alibasa Prawirodirjo. Meskipun baru berusia 17 tahun, ia cakap sekali dalam ilmu peperangan. Banyak pangeran dan bupati yang memihak dan menggabungkan diri dengan Pangeran Diponegoro.

Pada 1827, panglima tentara Belanda, De Kock, mengadakan siasat baru dengan mendirikan bentengbenteng di tempat yang telah direbutnya (Benteng Stetsel). Akibatnya, daerah gerilya Pangeran Diponegoro menjadi sempit dan hubungan dengan para bupati yang memberi bantuan menjadi terhambat. Pada 1828, wilayah kekuasaan Diponegoro tinggal daerah Rembang. Kyai Madja yang tertangkap kemudian diasingkan ke Manado. Adapun Sentot Alibasa dikirim ke Sumatra Barat untuk menghadapi kaum Paderi, tetapi ditangkap kembali karena bergabung dengan kaum Paderi lalu dibuang ke Cianjur. Pada akhirnya Sentot Alibasa Prawirodirjo dipindahkan ke Bengkulu dan meninggal di sana pada 1855.

Pangeran Diponegoro akhirnya mau berunding dengan Belanda di Magelang. Sebenarnya, perundingan yang ditawarkan De Kock hanyalah suatu siasat agar dapat menangkap Pangeran Diponegoro. Karena perundingan tidak mencapai kata sepakat, Pangeran Diponegoro ditangkap pada 1830. Beliau diasingkan ke Manado dan sempat dipindahkan ke Makassar. Beliau wafat di dalam Benteng Rotterdam di Makassar pada 8 Januari 1855.
Bagaimana terjadinya perang dipinegoro 1825-1830? 4.5 5 om Tuesday 18 November 2014 Perang Diponegoro (1825–1830) \ Banyak hal yang menyakitkan hati para pembesar dan rakyat Pulau Jawa. Seperti, campur tangan orang asing ...


No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.